Dalam melakukan audit diperlukan etika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang auditor harus menaati kode etik profesi sehingga para auditor dapat menjunjung standar etika tertinggi.
Etika secara garis besar disebut dengan serangkaian prinsip atau nilai-nilai moral agar kehidupan masyarakat dapat berjalan secara teratur. Alasan diperlukannya etika bagi kehidupan profesional adalah kebutuhan akan keyakinan publik atas kualitas layanan yang diberikan oleh profesi. Begitu pula dengan seorang auditor yang harus memenuhi etika profesinya sehingga ia dapat memberikan keterpercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang telah dilakukannya khususnya bagi para pengguna laporan keuangan.
Terdapat perbedaan antara profesi akuntan publik dengan profesional lainnya. Jika profesional memiliki tanggung jawab utama untuk membela kliennya maka kantor akuntan publik walaupun dibayar oleh kliennya namun pertanggung jawabannya bukanlah terhadap klien yang telah membayarnya tersebut melainkan bertanggung jawab terhadap masyarakat, para pemegang saham, serta pihak lainnya yang berkepentingan terhadap laporan keuangan yang diterbitkan oleh kantor akuntan publik.
Kode etik profesi AICPA merupakan standar umum perilaku yang ideal dan menjadi peraturan khusus tentang perilaku yang harus dilakukan. Kode etik ini terdiri dari empat bagian yaitu:
1.Prinsip-prinsip Etika Profesi, dimana prinsip-prinsip ini dalam kode etik AICPA dibagi menjadi
enam prinsip yaitu:
a.Tanggung Jawab, dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional para auditor
haruslah menjadi profesional yang peka dan memiliki pertimbangan moral atas seluruh
aktivitas mereka.
b.Kepentingan Publik, para auditor haruslah dapat melayani kepentingan publik, menghargai
kepercayaan publik, serta menunjuukkan komitmennya pada profesionalisme.
c.Integritas, para auditor haruslah menunjukkan tanggung jawab profesionalnya dengan
tingkat integritas tertinggi.
d.Obyektivitas dan Independensi, dalam melakukan audit seorang auditor haruslah
mempertahankan obyektivitasnya dan independensinya baik dalam penampilan maupun
dalam kondisi sesungguhnya.
e.Due Care, auditor haruslah memperhatikan standar teknik dan etiika profesi, berusaha
meningkatkan kompetensi dan kualitas jasa yang diberikannya serta melaksanakan tanggung jawab profesinya sesuai dengan kemampuan terbaiknya.
f.Lingkup dan sifat Jasa, auditor haruslah memperhatikan prinsip-prinsip pada kode etik
profesi dalam menentukan lingkup dan sifat-sifat jasa yang akan disediakannya.
2.Peraturan Etika, berisi peraturan-peraturan etika yang harus ditaati oleh para auditor dalam melakukan audit.
3.Interpretasi Peraturan Etika, kebutuhan akan interpetasi peraturan
Etika yang dipublikasikan timbul ketika terdapat beragam pertanyaan
dari para praktisi tentang suatu peraturan spesifik. Divisi etika AICPA
menyiapkan setiap interpretasi berdasarkan pada consensus komite
yang anggota utamanya tediri dari para praktisi akuntan publik.
4.Kaidah Etika, kaidah adalah rangkaian penjelasan oleh komite eksekutif pada divisi etika profesional tentang situasi spesifik yang nyata.
Dalam praktek audit, seorang auditor haruslah menyadari bahwa mempertahankan perilaku yang independen merupakan tanggung jawab mereka yang penting dan juga bagi para pemakai informasi tersebut agar memiliki kepercayaan terhadap independensi auditor tersebut. Independensi dapat diartikan sebagai suatu sikap dimana seseorang tidak berpihak kepada pihak manapun dalam melakukan tugas profesionalnya. Independensi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.Independensi dalam Fakta
Adalah sikap auditor yang benar-benar mempertahankan perilaku yang tidak bias dalam melaksanakan kegiatan audit.
2.Independensi dalam Penampilan
Merupakan hasil interpretasi lainnya dari sikap independensi ini.
Selain independensi, seorang auditor juga harus menaati mengenai aturan kepentingan kepemilikan, aturan ini memandang independensi dari perspektif perusahaan. Aturan atas hubungan keuangan mengambil hubungan perspektif penugasan dan mempersempit batasan atas kepemilikan dalam kllien untuk orang-orang yang bisa mempengaruhi audit.
Selanjutnya seorang auditor juga harus menunjukkan sikap profesional dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan.
Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003). Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya.
Hastuti dkk. (2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu pertama, pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Kedua, kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut. Kelima, hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan dalam melaksanakan pekerjaan.
Dalam melakukan audit, auditor juga harus menggunakan pengetahuannya sebagai salah satu cara mewujudkan tingkat keprofesionalannya. Pengetahuan akuntan publik bisa diperoleh dari berbagai pelatihan formal maupun dari pengalaman khusus, berupa kegiatan seminar, lokakarya serta pengarahan dari auditor senior kepada auditor yuniornya. Pengetahuan juga bisa diperoleh dari frekuensi seorang akuntan publik melakukan pekerjaan dalam proses audit laporan keuangan (Boner dan Walker 1994). Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya.
Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan kerja. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam-macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat perencanaan audit yang efektif (Noviyani 2002). Seorang akuntan publik yang memiliki banyak pengetahuan tentang kekeliruan akan lebih ahli dalam melaksanakan tugasnya terutama yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan.
Menurut Noviyani (2002) pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih dalam pertimbangan tingkat materialitas. Pengalaman membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan situasi dan keadaan dalam setiap penugasan. Pengalaman juga membantu akuntan publik dalam mengambil keputusan terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan menunjang setiap langkah yang diambil dalam setiap penugasan. Pengetahuan akuntan publik tentang pendeteksian kekeliruan semakin berkembang karena pengalaman kerja. Semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas.
Kewajiban Hukum
Sebagai seorang yang profesional, auditor memiliki tanggung jawab di bawah hukum untuk memenuhi apa yang telah dicantumkan di dalam kontrak klien mereka. Akuntan publik bertanggung jawab pada semua aspek pekerjaan akuntansi publiknya termasuk audit, pajak, jasa pendampingannya, jasa akuntansi, dan jasa pembukuan. Terdapat kesepakatan antara profesi akuntan dan lembaga hukum bahwa auditor bukanlah penanggung jawab atau penjamin laporan keuangan. Auditor diharapkan melaksanakan audit secara teliti. Standar kehati-hatian dimana auditor dapat menyelesaikan tugasnya biasa disebut dengan konsep kehati-hatian.
Kantor Akuntan Publik menggunakan satu atau kombinasi dari keempat pembelaan hukum bila ada tuntutan hukum oleh klien, pembelaan-pembelaan tersebut adalah pertama tidak ada kewajiban untuk melaksanakan artinya KAP mengklaim bahwa tidak ada kontrak yang tersirat atau tersurat, contohnya KAP mengklaim bahwa kekeliruan itu tidak dapt diungkapkan karena kantornya hanya melakukan jasa penelaahan bukan audit. Kedua, tidak ada kelalaian dalam pelaksanaan kerja. KAP mengklaim bahwa dalam pelaksanaan audit tidak ada kelalaian disebabkan karena audit dilaksanakan sesuai dengan standar GAAS/SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik). Ketiga, kelalaian kontribusi. Pembelaan terhadap kelalaian kontribusi terjadi bila tindakan klien yang menyebabkan kerugian menjadi dasar bagi kerugian atau mempengaruhi auditor sehingga auditor tidak bisa menemukan sebab dari kerugian yang terjadi. Keempat, adalah ketiadaan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik sangat penting dalam menentukan kelancaran proses audit, jika terjadi ketiadaan hubungan timbal balik maka proses audit pun akan menjadi kacau.
DAFTAR PUSTAKA
Arens,Alvin A., Randal J. Elder dan Mark S. Beasley. Auditing dan Pelayanan
Verifikasi. Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia. 2003.
Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto. 2008. Profesionalisme, Pengetahuan
Akuntan Publik dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas. Jurnal Akuntansi. The 2nd National Conference UKWMS.2008.
Bonner, S.E. 1994. Experience Effects in Auditing: The Role of Task-Specific
Knowledge. The Accounting Review, Vol.65, No.1, January, hlm.72-92.
Hastuti, T.D., S.L. Indriarto dan C. Susilawati. 2003. Hubungan antara
Profesionalisme dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.1206–1220.
Lekatompessy, J.E. 2003. Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya:
Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Keinginan Berpindah (Studi Empiris di Lingkungan Akuntan Publik). Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.5, No.1, April, hlm.69–84.
Noviyani, P. dan Bandi. 2002. Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur
Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V, September, hlm.481–488.
Tunggal,Amin Widjaja. Management Audit Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka
Cipta. 2000.
www.wordpress.com atau http://iramustika.wordpress.com/2008/05/06/resiko-audit- materialitas/